Senin, 29 Oktober 2012

A Trip to Wonogiri - 26 Oktober 2012



Saturday, 27 Oct 2012

Dalam rangka bulan Keluarga, gereja tempat aku bertumbuh, GKIm Anugerah mengadakan kunjungan ke Hamba Tuhan di pedesaan. Lokasi tempat tujuan kami adalah Wonogiri. Dari sekitar 70 peserta yang ikut dari aktivis dan jemaat, dibagi ke dalam 15 kelompok kecil yang dipimpin 1 orang dan menggunakan satu kendaraan untuk masing2 lokasi yang dituju.
Rombongan berangkat dari Solo sekitar pk. 7.30, kemudian ada briefing sejenak di sebuah Ruko milik Bp. Willy (pengusaha muda yang punya hati bermisi untuk gereja2 di desa), dan tepat pk 9.30 masing2 kelompok meluncur ke lokasi masing2. Ada yang mendapat lokasi di pinggiran Wonogiri, agak pelosok dan pelosok sekali. 

Kelompok saya terdiri dari 5 orang, saya, Bp. Narman sekaligus pengemudi, Mak Handoko, Licia, dan Ibu Ester sebagai pemimpin kelompok. Lokasi yang kami tuju adalah di daerah Mento (di mana itu ? ada di peta gak ya ? hihihi). Gereja yang kami kunjungi adalah GPdI Smirna. Perjalanan kami tempuh sekitar 20 menit dengan melewati Alas Ketu, hutan yang gersang dan panas sekali, dan jika malam sama sekali tidak ada peneranan. Akhirnya kami sampai di desa Mento. Kami disambut ramah oleh keluarga Pendeta Mulyana, yang mengawal perjalanan kami sejak dari Ruko. 

Pdt. Mulyana dan istri sudah melayani di gereja ini sekitar 22 tahun (hampir seumur saya.. :P), beliau punya 2 orang anak : Ester dan Efraim yang baru lulus dan masih kuliah di Salatiga. Yang cukup mengherankan saya adalah Pdt. Mulyana dan istri ini adalah orang Tionghoa. Dalam hati saya kagum karena (jujur) tidak banyak orang Tiong Hoa yang mau melayani di desa dengan penduduk yang semuanya pribumi. Tanpa bermaksud SARA, hanya berdasar cerita Pdt. Mulyana dan fakta yang ada, pasti tidak mudah bagi keluarga ini untuk diterima di sana. Sudah Kristen, Pendeta lagi, sipit lagi, sungguh tidak mudah. Namun akhirnya warga bisa menerima kehadiran mereka, karena keluarga ini tidak mengeksklusifkan diri, mereka membaur dengan warga. Bahkan Pdt. Mulyana dijadikan sesepuh/tokoh masyarakat di desa itu.

Dengan ramah dan terbuka, beliau bercerita awal pelayanan di sana. Beliau bersama istrinya merintis jemaat dengan “darah” dan air mata. Ditolak warga sekitar, rumah diberi pasir dan kotoran, tidak punya uang, belum ada listrik, dan keengganan warga di sana untuk bergaul dengan orang TiongHoa. Karena sangat kekurangan, waktu anak mereka masih kecil sampai2 kekurangan gizi karena hanya diberi makan nasi dan kuah bawang putih yang direbus. Pdt. Mulyana juga harus jalan kaki berkilo2 lewat hutan, menyebrang sungai (belum ada jembatan) untuk memberitakan Injil di desa2 sekitar. Puji Tuhan, akhirnya banyak jiwa2 yang datang kepada Tuhan hingga saat ini jemaat gereja sekitar 60-70 orang. 

Melalui cerita keluarga Pdt. Mulyana, nyata sekali bahwa tangan Tuhan yang setia terus memegang dan memelihara hidup mereka hingga sampai bisa menyekolahkan anak di luar kota, meski mereka tidak berlimpah secara materi. 

Ketika ditanya tentang sukacita dan kesulitan/tantangan melayani di sana, Pdt. Mulyana berkata bahwa sukacitanya sangat banyak. Tetapi kesulitannya juga tidak kalah banyak. Sangat sedih ketika melihat anak2 yang sudah dibina sejak kecil di Sekolah Minggu, tetapi akhirnya mereka menikah dengan pria/wanita beda agama dan akhirnya meninggalkan iman mereka. Juga sedih ketika jemaat “direbut” oleh gereja lain di kota karena mereka menyediakan jemputan PP untuk pergi ke gereja. Tetapi bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan juga memberikan orang2 yang setia untuk bergereja di GPdI Smirna. Bahkan orang2 yang dulu sempat menolak karena Pendetanya orang TiongHoa, sekarang juga setia beribadah. Terpujilah Tuhan !

Dan satu hal lagi, Tuhan nyatakan pemeliharaanNya kepada keluarga ini dengan mengirimkan burung2 Sriti ke belakang rumah Pastori mereka. Bangunan yang belum sepenuhnya jadi malah dihinggapi burung2 ini, sehingga sarangnya bisa dijual. Memang Dia-lah Jehova Jire, Allah yang mencukupkan :’)

Kurang lebih 1,5 jam kami mengobrol dan makan siang bersama dan diakhiri dengan berfoto di depan mimbar gereja. Gedung gerejanya tidak luas, tidak ada AC, hanya 1 kipas angin tinggi di atas, kursi panjang yang sederhana, hiasan2 dinding yang dibuat dari kertas berwarna. 



Akhrinya kami berpamitan dan keluarga Pdt. Mulyana melepas kami pulang ke Solo dengan penuh terima kasih, kami juga mengucapkan sampai berjumpa lagi jika Tuhan mengijinkan.
Ketika di mobil dalam perjalanan ke Solo, aku merenung betapa seharusnya aku juga GKIm Anugerah bersyukur karena dilimpahi dengan tempat dan fasilitas yang sangat memadai untuk kami bergereja. 

Betapa aku seharusnya malu, karena sering bersungut2 ketika rekan pelayanan menyebalkan, ketika pelayananku tidak dihargai, ketika AC tidak berfungsi, ketika harus membersihkan ruangan perpustakaan, ketika harus berlatih di gereja setelah seharian bekerja, ketika datang beribadah waktu hujan, ketika banyak hal dalam gereja tidak terjadi sesuai keinginanku...
Ketika menyadari bahwa hanya karena panggilan Tuhan-lah yang memampukan Pdt. Mulyana terus bertahan melayani di desa itu, aku tertegur karena sampai saat ini aku belum tau apa panggilan secara khusus Tuhan dalam hidupku. 

Ampuni aku Tuhan, aku malu karena merasa belum berbuat apa2 untukMu...

Terimakasih untuk acara kemarin, cukup membuka “kacamata kuda”ku sehingga aku belajar untuk mengetahui juga keadaan pelayanan di tempat lain, tidak hanya di GKIm Anugerah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar