Saturday, 27 Oct 2012
Dalam rangka bulan Keluarga, gereja tempat aku
bertumbuh, GKIm Anugerah mengadakan kunjungan ke Hamba Tuhan di pedesaan.
Lokasi tempat tujuan kami adalah Wonogiri. Dari sekitar 70 peserta yang ikut
dari aktivis dan jemaat, dibagi ke dalam 15 kelompok kecil yang dipimpin 1
orang dan menggunakan satu kendaraan untuk masing2 lokasi yang dituju.
Rombongan berangkat dari Solo sekitar pk.
7.30, kemudian ada briefing sejenak di sebuah Ruko milik Bp. Willy (pengusaha
muda yang punya hati bermisi untuk gereja2 di desa), dan tepat pk 9.30 masing2
kelompok meluncur ke lokasi masing2. Ada yang mendapat lokasi di pinggiran
Wonogiri, agak pelosok dan pelosok sekali.
Kelompok saya terdiri dari 5 orang, saya, Bp.
Narman sekaligus pengemudi, Mak Handoko, Licia, dan Ibu Ester sebagai pemimpin
kelompok. Lokasi yang kami tuju adalah di daerah Mento (di mana itu ? ada di
peta gak ya ? hihihi). Gereja yang kami kunjungi adalah GPdI Smirna. Perjalanan
kami tempuh sekitar 20 menit dengan melewati Alas Ketu, hutan yang gersang dan panas
sekali, dan jika malam sama sekali tidak ada peneranan. Akhirnya kami sampai di
desa Mento. Kami disambut ramah oleh keluarga Pendeta Mulyana, yang mengawal
perjalanan kami sejak dari Ruko.
Pdt. Mulyana dan istri sudah melayani di
gereja ini sekitar 22 tahun (hampir seumur saya.. :P), beliau punya 2 orang
anak : Ester dan Efraim yang baru lulus dan masih kuliah di Salatiga. Yang
cukup mengherankan saya adalah Pdt. Mulyana dan istri ini adalah orang
Tionghoa. Dalam hati saya kagum karena (jujur) tidak banyak orang Tiong Hoa
yang mau melayani di desa dengan penduduk yang semuanya pribumi. Tanpa
bermaksud SARA, hanya berdasar cerita Pdt. Mulyana dan fakta yang ada, pasti
tidak mudah bagi keluarga ini untuk diterima di sana. Sudah Kristen, Pendeta
lagi, sipit lagi, sungguh tidak mudah. Namun akhirnya warga bisa menerima
kehadiran mereka, karena keluarga ini tidak mengeksklusifkan diri, mereka
membaur dengan warga. Bahkan Pdt. Mulyana dijadikan sesepuh/tokoh masyarakat di
desa itu.
Dengan ramah dan terbuka, beliau bercerita
awal pelayanan di sana. Beliau bersama istrinya merintis jemaat dengan “darah”
dan air mata. Ditolak warga sekitar, rumah diberi pasir dan kotoran, tidak
punya uang, belum ada listrik, dan keengganan warga di sana untuk bergaul
dengan orang TiongHoa. Karena sangat kekurangan, waktu anak mereka masih kecil
sampai2 kekurangan gizi karena hanya diberi makan nasi dan kuah bawang putih yang
direbus. Pdt. Mulyana juga harus jalan kaki berkilo2 lewat hutan, menyebrang
sungai (belum ada jembatan) untuk memberitakan Injil di desa2 sekitar. Puji
Tuhan, akhirnya banyak jiwa2 yang datang kepada Tuhan hingga saat ini jemaat
gereja sekitar 60-70 orang.
Melalui cerita keluarga Pdt. Mulyana, nyata
sekali bahwa tangan Tuhan yang setia terus memegang dan memelihara hidup mereka
hingga sampai bisa menyekolahkan anak di luar kota, meski mereka tidak
berlimpah secara materi.
Ketika ditanya tentang sukacita dan
kesulitan/tantangan melayani di sana, Pdt. Mulyana berkata bahwa sukacitanya
sangat banyak. Tetapi kesulitannya juga tidak kalah banyak. Sangat sedih ketika
melihat anak2 yang sudah dibina sejak kecil di Sekolah Minggu, tetapi akhirnya
mereka menikah dengan pria/wanita beda agama dan akhirnya meninggalkan iman
mereka. Juga sedih ketika jemaat “direbut” oleh gereja lain di kota karena
mereka menyediakan jemputan PP untuk pergi ke gereja. Tetapi bersyukur kepada
Tuhan, karena Tuhan juga memberikan orang2 yang setia untuk bergereja di GPdI
Smirna. Bahkan orang2 yang dulu sempat menolak karena Pendetanya orang
TiongHoa, sekarang juga setia beribadah. Terpujilah Tuhan !
Dan satu hal lagi, Tuhan nyatakan
pemeliharaanNya kepada keluarga ini dengan mengirimkan burung2 Sriti ke
belakang rumah Pastori mereka. Bangunan yang belum sepenuhnya jadi malah
dihinggapi burung2 ini, sehingga sarangnya bisa dijual. Memang Dia-lah Jehova
Jire, Allah yang mencukupkan :’)
Kurang lebih 1,5 jam kami mengobrol dan makan
siang bersama dan diakhiri dengan berfoto di depan mimbar gereja. Gedung
gerejanya tidak luas, tidak ada AC, hanya 1 kipas angin tinggi di atas, kursi
panjang yang sederhana, hiasan2 dinding yang dibuat dari kertas berwarna.
Akhrinya kami berpamitan dan keluarga Pdt.
Mulyana melepas kami pulang ke Solo dengan penuh terima kasih, kami juga
mengucapkan sampai berjumpa lagi jika Tuhan mengijinkan.
Ketika di mobil dalam perjalanan ke Solo, aku
merenung betapa seharusnya aku juga GKIm Anugerah bersyukur karena dilimpahi
dengan tempat dan fasilitas yang sangat memadai untuk kami bergereja.
Betapa aku seharusnya malu, karena sering
bersungut2 ketika rekan pelayanan menyebalkan, ketika pelayananku tidak
dihargai, ketika AC tidak berfungsi, ketika harus membersihkan ruangan
perpustakaan, ketika harus berlatih di gereja setelah seharian bekerja, ketika
datang beribadah waktu hujan, ketika banyak hal dalam gereja tidak terjadi sesuai
keinginanku...
Ketika menyadari bahwa hanya karena panggilan
Tuhan-lah yang memampukan Pdt. Mulyana terus bertahan melayani di desa itu, aku
tertegur karena sampai saat ini aku belum tau apa panggilan secara khusus Tuhan
dalam hidupku.
Ampuni aku Tuhan, aku malu karena merasa belum
berbuat apa2 untukMu...
Terimakasih untuk acara kemarin, cukup membuka
“kacamata kuda”ku sehingga aku belajar untuk mengetahui juga keadaan pelayanan
di tempat lain, tidak hanya di GKIm Anugerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar